Saturday, April 18, 2009

Lirik Lagu...


Lagu Untuk Ibu

Seorang Wanita
Bermahkota Ibu
Menggenggam Jari-Jari Kecil
Ikatan Ini Tidak Kan Terurai
Kerna Tautan Ini
Tautan Darah dan Akidah
Dan Rahmat Dari Allah

Kini Ibu
Peganglah Tanganku Ini
Biar Kubawa
Ibu Menjelajah
Hasil Titik Peluhmu
Biar Kubawa
Kealam Ku
Hasil Ukiranmu
Selama Ini

Dodoianmu Ibu
Membina Benteng Pemisah
Antara Yang Hak Dan Yang Batil
Membakar Semangat Perjuangan
Mengait Kasih Pada Junjungan Tercinta
Tersujud Lemah
Mengabdi Diri
Kepada Yang Esa

Jika Belum Pernah
Kau Dengar Ucapan Terima Kasihku
Ketahuilah Doaku Ini
Moga Tuhan Menyayangimu
Sepertimana Kau Mengasihiku
Dari Dulu Hingga Kini
Untuk Selama-Lamanya





Remaja

Remaja
Ingatlah masa depan mu
Janganlah kau terleka
Di usia remaja

Kenanglah
Jasa ibu dan ayah mu
Susah payah mereka
Membesarkan kita

C/O :
Gunakanlah masa yang ada
Dengan sebaiknya
Kuatkanlah tekad di hati
Memajukan diri
Tiada kejayaan yang datang
Tanpa usaha yang gigih
Bersusah-susahlah dahulu
Bersenang kemudian
Jadilah warga yang berguna
Pada keluarga, masyarakat jua negara

Waspada
Jangan mudah terpedaya
Oleh hasutan dunia
Yang bisa merosakkan hidupmu

(Ingatlah remaja semua)




Sahabat Sejati


Ku biar kalam berbicara
Menghurai maksudnya di jiwa
Agar mudah ku mengerti
Segala yang terjadi
Sudah suratan Ilahi

Ku biarkan pena menulis
Meluahkan hasrat di hati
Moga terubat segala
Keresahan di jiwa
Tak pernah ku ingini

Aku telah pun sedaya
Tak melukai hatimu
Mungkin sudah suratan hidupku
Kasih yang lama terjalin
Berderai bagaikan kaca
Oh teman, maafkanlah diriku

C/O :
Oh Tuhan
Tunjukkan ku jalan
Untuk menempuhi dugaan ini
Teman, maafkan jika ku melukaimu
Moga ikatan ukhwah yang dibina
Ke akhirnya

Aku tidak kan berdaya
Menahan hibanya rasa
Kau pergi meninggalkan diriku
Redhalah apa terjadi
Usahlah kau kesali
Mungkin ada rahmat yang tersembunyi

Peringatan Buat Para Pemimpin


Peringatan Buat Para Pemimpin
www.iluvislam.com

Menjadi pemimpin bukan mudah. Tapi zaman sekarang semua orang kemaruk untuk jadi pemimpin. Hayatilah kisah ini untuk menilai layakkah kita untuk meminta-minta jawatan pemimpin.

Dari hal keadilan, ketakwaan dan kemuliaan budi baginda Umar bin Abdul Aziz, tidaklah perlu lagi diterangkan panjang lebar. Kisahnya panjang lebar telah dikarang oleh ulama-ulama.

Sesungguhpun dia telah mencapai kedudukan yang semulia itu, belumlah dia kenyang dari petunjuk ulama dan pimpinan seorang yang arif.

Pada suatu hari berkirim suratlah baginda kepada ulama Tabi’in yang masyhur, Hasan Basri, bertanya kepada beliau dari hal sifat-sifat Imam (raja) yang adil. Maka telah menjawab Hasan Basri demikian bunyinya:

“Ketahuilah hai Amirul Mukminin, bahawasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikan raja yang adil laksana tongkat tua yang teguh condong yang akan menauri, lemah yang akan membila. Dia menjadi tujuan dari segala orang yang ragu, memperbaiki segala yang rosak, menguatkan segala yang lemah, tempat mengadu bagi tiap-tiap yang teraniaya, tempat kembali dari tiap-tiap yang sengsara.”

“Imam yang adil ya Amirul Mukminin, ialah laksana seorang pengembala yang hati rahim kepada binatang pengembalaannya; dibawanya ke padang yang berumput subur, dijaganya jangan jatuh ke lurah yang curam, dijaganya dan dipeliharanya jangan ditangkap binatang buas, dipeliharanya jangan ditimpa dahaga dan kepanasan.”

“Imam yang adil ya Amirul Mukminin, laksana 
seorang ayah yang cinta akan anak-anaknya, diasuhnya semasa anak itu kecil, diajarnya setelah anak itu besar, dituntunnya di dalam mencari penghidupan, dikumpulkannya harta bersusah payah, untuk anaknya itu jika si ayah mati.”

“Imam yang adil ya Amirul Mukminin, 
laksana seorang ibu yang pengasih, dikandungnya anaknya dalam perutnya dengan susah payah, diasuhnya setelah anak itu lahir. Tidak tidur matanya malam, jika anaknya bangun, dia termenung jika dilihatnya anaknya duka, disusukannya; puas disusukan digendungnya. Mukanya berseri-seri jika si anak sihat, mukanya muram jika si anak sakit.”

“Imam yang adil ya Amirul Mukminin, ialah 
laksana seorang yang berdiri di antara Allah dengan hamba-Nya, didengarnya Maha Tuhan dengan tenang, setelah itu diterangkannya bagaimana wajah-Nya kepada mereka. Dibimbingnya tangan umat supaya sama-sama ke hadrat Rabbi, memohonkan kurnia-Nya.”

“Oleh sebab itu ya Amirul Mukminin, janganlah paduka sebagai budak yang dipercayakan oleh penghulunya kepadanya menyimpan hartanya dan memelihara kaum kerabatnya, lantas budak itu khianat akan amanat, dimusnahkannya harta benda itu dan disia-siakannya petaruh.”

“Kemudian itu ingatlah ya Amirul Mukminin akan 
maut dan apa yang akan kejadian sesudah mati. Ingatlah bahwa persedian paduka agaknya sedikit, orang yang akan menolong paduka tidak ada. Bersiaplah untuk menghadapi mati, dan untuk menghadapi zaman sesudah mati.”

“Ketahuilah pula ya Amirul Mukminin, bahawa paduka akan tinggal dalam sebuah rumah yang tidak serupa dengan rumah yang paduka diami sekarang. Lama sekali paduka akan mengeluh di sana, dan tidaklah seorang juga yang akan menemuinya, hanya tinggal seorang diri dalam kesunyian."

"Oleh sebab itu berkemaslah dari sekarang dan bersiaplah. Kerana perkemasan dan persiapan yang disediakan lebih dahulu, itulah hanya yang akan menolong di sana kelak, iaitu pada waktu lari padanya manusia daripada saudaranya dan ibunya daripada ayahnya dan isterinya, daripada anaknya sekalipun.” 




“Ingatlah ya Amirul Mukminin, ingatlah dengan hati-hati, akan suatu masa kelak yang akan dibongkar segala isi kubur, akan dikupas segala isi dada, segala rahsia pada hari itu akan terbuka. Semuanya tertulis dalam kitab, baik besar mahupun kecil semuanya dihitung.

“Maka sekarang ya Amirul Mukminin, ingatlah dengan saksama, sebelum ajal sampai janji mendatang, sebelum hukum putus angan berhenti:

Jangan paduka menghukum atas hamba Allah dengan kebodohan, jangan paduka bawa mereka ke jalan aniaya, jangan diangkat orang-orang yang takbur menjadi pegawai, memerintah orang yang lemah. Sebab m
ereka menjatuhkan perintah dengan sesuka hati dan semahu-mahunya saja. Kelak padukalah yang akan menanggungjawab atas dosa mereka, dan yang bertali dengan itu, dikumpulkan dengan dosa paduka sendiri.

Janganlah paduka terpedaya oleh tipuan orang-orang yang menelah nikmat kesusahan paduka. Mereka makan segala yang enak-enak di dunia, supaya paduka menelan segala kesusahan di akhirat.

Jangan paduka berbesar hati lantaran mempunyai kekuatan pada diri ini, tetapi fikirkanlah kekuatan untuk dari jiwa yang akan dicabut, pada waktu mana seluruh badan paduka diikat oleh rantai kematian, atau berdiri di hadapan Allah, dikelilingi oleh sekalian Malaikat. Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Pada waktu mana seluruh wajah makhluk, menghadap kepada Yang Hidup dan Yang Kekal!”

“Adapun patik sendiri ya Amiru Mukminin, meskipun nasihat patik ini tidak sebagus nasihat-nasihat orang-orang yang lebih muda daripada patik pada zaman dahulu, namun patik amat cinta kepada tuanku dan amat ikhlas. Oleh sebab itu pandanglah isi surat patik ini, laksana ubat yang diberikan oleh seorang kecintaan kepada kecintaannya yang sakit. Meskipun agaknya pahit, moga-moga di dalam kepahitan itu ada tersimpan kesihatan dan afiat.”



Dipetik dari Lembaga Hikmat, karya Hamka 

Stranger In The Dark





Stranger In The Dark
www.iLuvislam.com


A few months before I was born, my dad met a stranger who was new to our small town. From the beginning, Dad was fascinated with this enchanting newcomer, and soon invited him to live with our family. The stranger was quickly accepted and was around to welcome me into the world a few months later. 


As I grew up, I never questioned his place in our family. In my young mind, each member had a special niche. My brother, Bilal, five years my senior, was my example. Fatimah, my younger sister, gave me an opportunity to play big brother’ and develop the art of teasing. My parents were complementary instructors - Mom taught me to love the word of Allah, and Dad taught me to obey it. But the stranger was our storyteller. He could weave the most fascinating tales. Adventures, mysteries, and comedies were daily conversations. He could hold our whole family spell-bound for hours each evening. 


If I wanted to know about politics, history, or science, he knew it. He knew about the past, understood the present, and seemingly could predict the future. The pictures he could draw were so life like that I would often laugh or cry as I watched. He was like a friend to the whole family. He took Dad, Bilal, and me to our first major league baseball game. 


He was always encouraging us to see the movies and he even made arrangements to introduce us to several movie stars. The stranger was an incessant talker. Dad didn’t seem to mind but sometimes Mom would quietly get up while the rest of us were enthralled with one of his stories of faraway places, go to her room, and read her Qur’an and pray. I wonder now if she ever prayed that the stranger would leave. 


You see, my dad ruled our household with certain moral convictions. But this stranger never felt an obligation to honor them. Profanity, for example, was not allowed in our house - not for some of us, from our friends, or adults. Our longtime visitor, however, used occasional four letter words that turned my ears and made Dad squirm. 


To my knowledge, the stranger was never confronted. My dad was a teetotaler who didn’t permit alcohol in his home, as good Muslims should. But the stranger felt like we needed exposure and enlightened us to other ways of life. He offered us beer and other alcoholic beverages often. He made cigarettes look tasty, cigars manly, and pipes distinguished. He talked freely (probably too much, too freely) about sex. His comments were sometimes blatant, sometimes suggestive, and generally embarrassing. 


I know now that the stranger influenced my early concepts of the man-woman relationship. As I look back, I believe it was the grace of Allah that the stranger did not influence us more. Time after time, he opposed the values of my parents. Yet, he was seldom rebuked and never asked to leave. More than thirty years have passed since the stranger moved in with the young family on Wangee Road. 


He is not nearly so intriguing to my Dad as he was in those early years. But if I were to walk into my parents’ den today, you would still see him sitting over in a corner, waiting for someone to listen to him talk and watch him draw his pictures… His name you ask? We called him TV


Our Lord! Forgive us our sins and expiate from us our evil deeds, and make us die in the state of righteousness. 


"O Allah, let our last days be the best days of our life and our last deeds be the best deeds, and let the best day be the day we meet You." (Surah Al- Imran Ayat 193)